Save to your bookmark !
"CINTA VS PESONA INTELEKTUAL"
Mencintai seseorang
adalah suatu tindakan
yang memanifestasikan
rasa kasih sayang yang
sangat manusiawi dan
universal. Setiap insan
ciptaan Tuhan memiliki
hak, tidak hanya untuk
mencintai tetapi juga
untuk dicintai. Inilah salah
satu wujud hak asasi
manusia yang harus
dihormati dan
dipertimbangkan dengan
nurani yang jujur. Semua
orang yang menjunjung
tinggi kejujuran dan
ketulusan akan enggan
berkata bahwa mencintai
adalah suatu tindakan
bodoh, dan bahwa cinta
adalah suatu kebodohan.
Mencintai justru
merupakan tindakan
berahmat, dan cintai itu
sendiri merupakan
rahmat Ilahi yang patut
disyukuri, dipelihara serta
dipupuk agar tetap
tumbuh dengan subur di
petak-petak sanubari
yang hijau dan segar, di
kedua sisi aliran air sungai
kehidupan yang tenang
dan damai. Siapa yang
ingin hidup tanpa cinta
yang tulus di tengah
dunia yang semakin
dilanda krisis cinta yang
tak bertepi? Bukankah
banyak orang bersemadi
dan menggunakan jasa
paranormal atau dukun
pelet untuk
mengharapkan datangnya
cinta yang tulus? Lalu
mengapa takut mencinta?
Mencintai seseorang pasti
ada pemicunya. Dengan
kata lain, rasa cinta itu
timbul karena ada faktor
penyebabnya. Bukankah
ada asap karena ada api?
Dan faktor penyebabnya
bisa berjumlah lebih dari
satu. Salah satunya adalah
kekaguman akan pesona
intelektual seseorang. Hal
ini sangat wajar, menurut
pandangan penulis,
karena pesona ini cukup
menggoda bagi setiap
insan. Kekaguman akan
pesona intelektual
seseorang dapat menjadi
pemicu rasa cinta yang
ampuh. Tetapi bila
mengagumi pesona
intelektual seorang
pribadi menjadi satu-
satunya pemicu bagi
suatu hubungan cinta,
maka penulis yakin
bahwa ada kemungkinan
pada suatu saat bila si dia
yang dikagumi
kekurangan atau
kehilangan pesona
intelektualnya sama sekali
karena alasan usia lanjut
atau kecacatan tak
diharapkan, maka si
pengagumnya bisa
meninggalkannya karena
tak ada lagi pesona yang
perlu dikagumi. Dan itu
berarti cinta mereka pun
akan terseret perginya
kekaguman akan pesona
yang dimiliki. Di mana
ada pesona intelektual, di
situ ada cinta. Pada
dasarnya, pesona
intelektual, sama seperti
ketampanan atau
kecantikan (pesona rupa),
adalah kelebihan yang
dimiliki seseorang dan
merupakan anugerah
Sang Pencipta yang patut
disyukuri. Berbeda
dengan pesona rupa,
pesona intelektual
biasanya tidak langsung
tampak secara fisik � ia
(mungkin) tampak lebih
jelas lewat tindakan
verbal, dan komunikasilah
jembatannya. Setiap
orang akan dengan
mudah mengatakan si A
itu tampan atau si B itu
cantik tanpa
membutuhkan waktu
yang lama. Dengan
menatap atau meliriknya
sesaat saja, pujian itu bisa
meluncur dari mulutnya,
bahkan mungkin tanpa
disadari. Tetapi untuk
mengatakan bahwa si C
pandai, seseorang harus
menunggu lebih lama
untuk mengambil suatu
kesimpulan. Orang
tersebut harus melakukan
kontak sosial dengan si C.
Misalnya, dengan
mengajaknya bercakap-
cakap dua atau tiga kali
sampai orang itu yakin
bahwa si C patut disebut
pandai atau memiliki
pesona intelektual.
Bisakah kelebihan-
kelebihan yang fana
seperti ketampanan,
kecantikan, dan
kepandaian tidak
dijadikan landasan cinta?
Ada kekhawatiran bahwa
bila kita melandaskan
cinta pada kelebihan yang
fana, maka cinta yang
ditopangnya pun akan
bersifat fana. Mungkin ada
baiknya bila kita
mencintai seseorang, kita
mencintainya seutuhnya �
menerima, tidak hanya
segala kelebihan, tetapi
juga segala
kelemahananya � segala
hitam putih hidupnya,
tanpa reserve. Bukankah
ini sangat manusiawi dan
diharapkan banyak insan?
Jadi, kita sebaiknya
mencintai seseorang tidak
semata-mata karena ia
pandai, tampan, cantik,
atau kaya. Kita diharapkan
untuk beranjak dari
kuadran yang fana
menuju ke kuadran yang
tanpa syarat � kuadran
kaum idealis dan puritan.
Ada satu ilustrasi
mengenai mencintai atas
dasar kepintaran orang
yang dicintai. Konon, di
sebuah fakultas sastra di
salah satu universitas
terkemuka di Indonesia,
terdapat seorang
mahasiswi yang sangat
pandai, bernama Soneta.
Ia menguasai dengan baik
sekali sastra Indonesia
dan Eropa. Puisi adalah
menu pembukanya setiap
hari dan prosa menu
utamanya. Novel-novel
karya Albert Camus,
Gabriel Garc�a M�rquez,
Victor Hugo, Charles
Dickens, dan beberapa
penulis besar lainnya
adalah sahabat setianya
di manapun ia berada, di
kala sedih maupun
senang. Penampilan
Soneta sederhana dan
penuh senyum
bersahabat. Pesona
intelektualnya itu telah
lama membuat kagum
seorang pria - rekan
kuliahnya yang bernama
Tamsil -
pandai. Tamsil berharap
agar ia segera mendapat
kesempatan untuk
mengungkapkan isi
hatinya. Singkat cerita,
akhirnya Soneta menjadi
kekasih Tamsil. Pada
awalnya, ia menyangka
bahwa Tamsil
yang memang
pada dasarnya cepat
kagum dengan gadis
pandai. Tamsil berharap
agar ia segera mendapat
kesempatan untuk
mengungkapkan isi
hatinya. Singkat cerita,
akhirnya Soneta menjadi
kekasih Tamsil. Pada
awalnya, ia menyangka
bahwa Tamsil
mencintainya apa adanya
(the way she is). Ternyata
ia keliru, pria itu
mencintainya hanya
karena pesona
intelektualnya saja. Jadi,
sebenarnya yang dicintai
adalah pesona
intelektualnya, bukan
dirinya seutuhnya. Semua
kebohongan ini akhirnya
terungkap juga. Cerita
singkatnya sebagai
berikut: Pada suatu hari
Soneta yang sedang
menderita sakit kepala
berjalan menuruni tangga
menuju ke lantai bawah
rumahnya, karena terlalu
pusing, akhirnya ia
kehilangan kontrol dan
jatuh dari tangga yang
cukup tinggi. Kecelakaan
ini menyebabkan kerja
saraf di otaknya agak
terganggu sehingga,
walaupun sudah dioperasi
pun, ia dinasehati untuk
tidak memikirkan hal-hal
yang rumit. Ini tentu saja
berat bagi seorang
mahasiswi sastra seperti
Soneta, karena untuk
memahami karya-karya
sastra ia membutuhkan
cukup banyak energi
untuk berpikir. Soneta
mau tidak mau menuruti
segala nasehat dokter
demi keselamatan dirinya,
walau amat kecewa.
Semua yang telah
menimpa Soneta seolah-
olah telah menghapus
segala impiannya untuk
menjadi sastrawan dan
kritikus sastra yang
handal dalam waktu yang
singkat. Sebenarnya tidak
separah itu keadaannya
karena para dokter bedah
menjamin bahwa
keadaannya akan menjadi
normal kembali dalam
waktu kurang dari dua
tahun bila ia mematuhi
segala nasehat dokter.
Karena keadaan ini, secara
otomatis prestasinya
akademisnya menurun
secara drastis. Lalu di
mana gerangan si Tamsil,
yang sebelumnya sangat
lengket bagaikan
perangko? Si Tamsil
menunjukkan empatinya
dengan menjenguk dan
menjaga Soneta di rumah
sakit. Tetapi setelah tahu
bahwa si Soneta harus
berhenti kuliah selama
dua tahun dan karena
yakin bahwa prestasi
akademis si Soneta pasti
menurun drastis dan sulit
dipulihkan, maka ia
segera "mohon diri" dan
"mundur secara teratur".
Apa yang diharapkan
Tamsil, diri si Soneta
seutuhnya atau hanya
satu titik dari samudera
kehidupan si Soneta yang
amat luas? Ada lagi
ilustrasi yang lain. Konon,
Albert Einstein, pernah
bertemu dengan Elvis
Presley dan Sultan
Hassanal Bolkiah, dari
Brunei, dalam suatu
kunjungan di Menara
Eiffel. Maaf, karena
dokumentasi yang kurang
rapi, maka waktunya tak
pernah diketahui. Pada
pertemuan itu, karena
didorong oleh kepedulian
akan cinta yang terlalu
berlandaskan kelebihan-
kelebihan yang fana,
mereka sepakat untuk
mengadakan kampanye
"Anti Cinta Karena
Kelebihan Fana". Ketiga-
tiganya mengimbau
seluruh pria dan wanita
untuk mencintai dengan
melihat diri pribadi yang
dicintai seutuhnya tanpa
syarat (sans conditions).
Ikrar mereka unik karena
dirumuskan dalam bentuk
puisi pendek yang terdiri
dari empat baris, dengan
perincian sebagai berikut:
judulnya dibacakan
bersama; baris pertama
dibacakan oleh Einstein;
baris kedua oleh Elvis;
baris ketiga oleh Sultan;
dan, baris terakhir
dibacakan bersama-sama.
Versi asli puisi ini masih
tersimpan dengan rapi di
perpustakaan agung Nyi
Roro Kidul, di kawasan
Laut Selatan. Di sini
penulis hanya menuliskan
versi terjemahan
bebasnya saja dari bahasa
Lintasbuana, yang kurang
lebih berbunyi sebagai
berikut:
IKRAR CINTA
Jangan aku dikau cintai
karena isi kepalaku;
Jangan aku dikau cintai
karena tampan rupaku;
Jangan aku dikau cintai
karena berat pundi-
pundiku. Cintailah daku
laksana seorang buta.
Penulis berpikir bahwa
benar tidaknya kedua
ilustrasi di atas tidak perlu
dipersoalkan. Kita
seyogyanya berusaha
memetik makna yang ada
di balik keduanya. Kita
sungguh telah diajak
untuk tidak mengukur
kedalaman suatu
samudera hanya dari satu
tepi yang dangkal, yang
mungkin sebentar lagi
akan semakin dangkal
karena perubahan gejala
alam. Mari kita telusuri
dan layari samudera itu
sebelum kita
memutuskan untuk
"berkubang" di sana
selamanya! Tenyata
mencintai dengan
mengesampingkan
kelebihan-kelebihan yang
fana seperti tersebut di
atas sulit untuk
diwujudkan, kecuali bila
kita memang sungguh-
sungguh menon-aktif-kan
fungsi mata tubuh kita
dan hanya mengandalkan
mata batin yang jarang
kita fungsikan. Banyak
kali justru hal-hal seperti
di atas-lah yang
senantiasa kita jadikan
pijakan dan patokan
untuk bertolak kepada
atau merumuskan
perasaan-perasaan yang
tatarannya lebih tinggi.
Alangkah bijaknya bila
kita sadar bahwa yang
bersifat fana akan tetap
bersifat fana! Bila kita
berprinsip bahwa
mencintai seseorang apa
adanya adalah suatu
idealisme yang mesti
diraih, baiklah kita
berpacu untuk meraihnya
selama kita masih diberi
waktu yang cukup. Ingat,
waktu terus berlalu, dan
belum tentu kita akan
peroleh kesempatan yang
sama untuk
mewujudkannya pada
masa-masa yang akan
datang!
Sebagai penutup
tulisan ini, penulis
berharap agar tulisan ini
dapat menjadi bacaan
yang berkenan di hati
para pembaca. Syukurlah
bila ada butir-butir
mutiara kehidupan yang
dapat dipungut darinya..
By. J4CK-SITE